-->

Notification

×

iklan

Iklan

Politik Narsis Menjelang Pilkada Serentak 2024

Kamis, 02 Mei 2024 | 08.00 WIB Last Updated 2024-05-16T14:26:12Z
Suriono Brandoi Siringoringo
Kurang lebih 7 bulan lagi, tepatnya 27 November 2024 mendatang, seluruh daerah di Indonesia secara serentak akan memilih kepala daerah yang baru.

Untuk masa pendaftaran para calon sendiri ke KPU akan dilaksanakan pada akhir bulan Agustus, tepatnya 27-29 Agustus 2024.

Saat ini, para masyarakat yang berminat untuk maju masih dalam tahap meminang partai politik sebagai kendaraan untuk mengikuti kontestasi politik 2024.

Meski pendaftaran calon ke KPU masih lama lagi, tetapi langkah dan upaya mensosialisasikan diri para bakal calon sudah sangat marak. Tak terkecuali di antero Kabupaten Samosir yang turut berpesta demokrasi.

Kesemarakan itu semakin terlihat pada perayaan hari besar keagamaan, dan sebagainya. Stiker, spanduk, dan baliho mulai bertebaran dimana-mana. Semua mengucapkan: Selamat Hari ini itu. Lalu dibawahnya, substantif: "saya, bla..bla…bla.."

Sebagian besar masyarakat tentu sudah mafhum, mereka sedang berusaha keras mempromosikan figuritas pribadinya masing-masing, dengan target: mengkatrol akseptabilitas, popularitas dan akhirnya elektabilitas.

Politik Narsis
Dengan semakin narsisnya foto para balon kepala daerah melalui spanduk dan pamfletnya, hal itu tentu membangun kesan tentang mereka dalam pikiran kita. Sah-sah saja mereka narsis dalam rangka kampanye merebut hati pemilih.

Sebaliknya, sah juga bagi kita memberi kesan kenarsisan mereka. Apalagi langkah dan ikhtiar promosi figur menjelang pemilihan macam begitu, tentu saja sangat diperbolehkan.

Bahkan juga penting dan strategis dilakukan agar sejak dini para pemilih bisa menimbang dan menakar siapa diantara mereka yang kira-kira pantas dan layak memimpin Samosir lima tahun kedepan.

Namun sayangnya memang, langkah dan ikhtiar promosi para balon itu masih sebatas mempertontonkan obyek pribadi yang serba-cangkang, dikemas dalam perform serba-narsis, dan cenderung baru berhasil “memikat preferensi politik” masyarakat lantaran potensi kekuatan logistik yang dimiliki para balon.

Belum lebih dari itu tampaknya. Memang sah-sah saja ketika pada akhirnya para pemilih kemudian menjatuhkan pilihannya kelak karena aspek kekuatan logistik sang kandidat.

Dan ini memang sudah menjadi fenomena massif sebagai buah yang suka-tidak suka, harus dipetik dari pohon demokrasi yang kita tanam dengan cara-cara liberalis-kapitalistik.

Keterpilihan seorang kandidat lebih sering karena kekuatan logistik yang dimilikinya. Bukan, misalnya karena integritas pribadinya yang unggul atau kompetensinya yang par-excellent. 

Taktik Klasik
Sering dikatakan bahwa salah satu syarat untuk terpilih menjadi “pemimpin politik” itu adalah sebesar apa kekuatan logistiknya.

Dalam praktik tampaknya memang agak sukar dibantah. Karena dengan kekuatan logistik itu, popularitas bisa dikatrol. Tinggal cetak ribuan stiker, spanduk dan baliho; pasang iklan di media massa dan mengekspose segala kebaikannya saban hari.

Demikian halnya dengan urusan integritas, meski mungkin semu, juga bisa diciptakan. Tinggal keliling kampung, bagi-bagi sembako kayak sinterklas, sumbang sana sini. Minta doa restu ke perkumpulan organisasi, marga dan rajin hadiri pesta-pesta, meski terkadang tidak diundang.

Nah, dengan cara demikian, elektabilitas bisa dengan mudah lompat ke posisi nomor wahid. Jelaslah bahwa para kandidat membutuhkan biaya relatif besar, terutama menjelang pemilihan.

Taktik klasik yang marak pada pilkada adalah membanjiri daerah pemilihan dengan spanduk dan memasang iklan di media massa yang semua memakan biaya.

Ketergantungan kandidat pada pola pembiayaan tinggi untuk mendapatkan pemilih menunjukkan belum memadainya strategi untuk membangun konstituen.

Seperti diketahui, produk politik yang meliputi partai politik, kandidat, program, dan kebijakan merupakan produk yang abstrak dan tidak kasatmata. Produk ini juga padat dengan nilai-nilai dan janji yang baru dirasakan manfaatnya jangka panjang.

Eksplorasi Konsep Kandidat
Lantas bagaimana idealnya? Pada titik inilah diperlukan kehadiran elemen-elemen kritis independen, bebas struktur, non-partisan dan imparsial untuk tampil menginisiasi, misalnya acara “bedah konsep calon bupati/wakil bupati" dan yang sejenis itu.

Mereka bisa dari kalangan tokoh masyarakat, mahasiswa, akademisi, aktivis LSM, atau para jurnalis. Saripati tujuan kegiatannya tidak lain adalah mengeksplorasi pikiran dan konsep para kandidat itu tentang Kabupaten Samosir masa depan yang akan mereka pimpin.

Dalam bahasa populernya mungkin semacam visi-misi. Hanya saja, para calon diundang tidak sekadar membacakan dokumen visi-misi yang sangat mungkin sudah disiapkan tim suksesnya.

Melainkan “ditantang” untuk berdebat dalam forum terbuka dan kritis, membedah isu-isu strategis Samosir sekarang dan lima tahun kedepan. Tentu dalam suasana yang tetap santun dan ikhlas.

Dengan cara demikian, para balon akan saling berkompetisi secara profesional, menunjukkan kompetensi dan meritokrasinya sebagai bakal pemimpin yang memang harus handal dan par-excellent.

Dan tidak hanya bertumpu pada modal-modal klasik dan serba cangkang seperti jabatan politik yang saat ini didudukinya, latar belakang keluarga, organisasi yang digumulinya, bisnis keluarga, besaran depositonya di bank, ketokohan sosial, atau apalagi sekadar bertumpu pada modal “semangat populis”. Capek deeh.

Dengan cara demikian pula, masyarakat paling tidak disediakan pilihan-pilihan tawaran yang jauh lebih rasional tumpuannya, lebih “benar” rujukannya.

Tentu saja dengan catatan, para inisiator independen tadi juga mampu mengkomunikasikan kegiatan tersebut dengan baik, efektif dan massif kepada masyarakat luas.

Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya, spirit gagasan itu memang bukan perkara gampang merealisasikannya. Tetapi ia tetap penting dan strategis, karenanya perlu diikhtiarkan.

Ini jika benar, bahwa masyarakat Samosir membutuhkan figur bupati dan wakil bupati masa depan yang kompetitif, selain bermoral par-excellent dan memiliki integritas tinggi.

Jika keinginan luhur dan mulia yang sering saya temukan di media jejaring sosial dan ruang-ruang komunikasi publik lainnya itu ternyata semu belaka, pura-pura, ya sudah, lain urusannya.***(Tulisan 12 tahun lalu, yang terbit di Analisa, dan masih relevan hingga masa kekinian).
×
Berita Terbaru Update