-->

Notification

×

iklan

Iklan

IMG-20240221-170348

Sarjana

Jumat, 01 Mei 2020 | 23.06 WIB Last Updated 2020-05-02T00:50:52Z
Ilustrasi.(Pikiranrakyat.com).
Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo
"Sikkolana timbo, sarjana muse, hape tong do pengganguran." Sentilan yang sungguh menusuk bulu kuduk yang membuat geram, tapi apa mau dikata bisanya hanya diam.

Kata seperti itu biasanya menampar orang yang baru lulus sarjana, tapi masih nganggur. Dari mulut lugu orang desa kata itu meluncur dengan leluasa tanpa beban.

Padahal sewaktu masih kuliah si sarjana begitu dipuji, diunggulkan, rasa jumawa menggelegak dalam dirinya. "Itu anaknya si anu jadi anak kuliahan, hebat benar ya?."

Dalam pikiran orang kampung, orang kuliah itu seperti ada jaminan masa depan cerah. Habis kuliah pasti dapat kerja. Itulah gumam mereka.

Si calon sarjana, hari-harinya dihabiskan di kampus, kuliah. Entah di kampus itu betul-betul belajar atau hanya nongkrong sajalah, atau di kelas pun cuma tidur. Tak ada yang tahu.

Dari kampung, orang tua sangat percaya anaknya pasti kuliah dengan betul di kampusnya. Tak mau tahu kenyataannya bagaimana, tak pernah dicek, toh gak ada waktu, kerja numpuk, itu juga buat bayar uang kuliah anaknya.

Si calon sarjana terlindungi oleh menara gading. Kampus yang tak tersentuh masyarakat. Kampus menjadi tempat elit yang hanya orang berkepentingan yang bisa masuk.

Seperti sebuah pabrik. Menjadi tempat yang sangat nyaman bagi si calon sarjana. Terkadang saking nyamannya, ia tak sadar kalau ternyata waktu kuliahnya molor, semester bonus katanya.

Perguruan tinggi adalah pendidikan tinggi. Memang semuanya serba tinggi. Ada harapan yang begitu tinggi sampai tak menyentuh realitas.

Begitu tinggi angan itu sampai ke langit. Padahal kaki masih berpijak bumi. Tapi tak mengapalah, bukankah manusia sudah sewajarnya bermimpi. Toh tak ada yang melarang mimpi. Kalau ditanya knapa? Dijawab, "Kan cuma mimpi."

Di negeri kaya, Indonesia. Makmur sekali si calon sarjana itu. Uang saku, motor, mobil difasilitasi, sudah ada yang menyediakan, siapa lagi kalau bukan orang tua yang begitu tulus.
Penulis saat diwisuda.
Saking tulusnya, ya orang tua itu mendidik anaknya macam ayam pedaging saja. Tak pernah diajak bekerja, sudahlah nak, yang penting belajar sampai jadi sarjana.

Dalam benak orang tua memang begitu percaya, karena saking percayanya sampai lupa kalau itu tidak baik buat perkembangan kemandiriannya. Ah, yang penting sama-sama senang, sama-sama tulus.

Beruntung bagi si calon sarjana yang hidupnya pas-pasan. Berbeda dengan mainstream pada umumnya selalu dicecoki. Ia harus bertahan hidup, mencari sesuap nasi, kerja sana sini.

Hdupnya selalu dikejar kebutuhan, otaknya terus berputar, mencari celah peluang. Dari tambal ban, jualan koran, menulis di koran. Karena saking sakitnya ia pun tak tanggung-tanggung kuliah, tekadnya kuat sekali, bacaanya mungkin seabreg.

Tapi yang model begini cuma segelintir, sedikit sekali, bisa dihitung dengan jari. Ia menjadi ayam kampung sendirian, hidup ditengah ayam-ayam pedaging.

Tiba saatnya wisuda. Si calon sarjana yang tadi baru calon, akhirnya sudah benar-benar sarjana. Hatinya berbunga-bunga, orang tua pun tersenyum penuh kepuasan. Nama pun bertambah dengan gelar yang mentereng. "S" dengan baca sarjana, ditambah bidang ilmu yang diambilnya.

Tapi si sarjana begitu kaget. Setelah menjadi sarjana baru beberapa hari, ada kemurungan yang menghiasi wajah polosnya. Hidup enaknya di kampus telah ditinggalkan, sekarang ngos-ngosan cari kerjaan.

Bayangan menjadi sarjana akan dapat kerja mudah, ah itu hanya mitos ternyata. Ia baru sadar. Seolah baru bangun tidur dan berucap, "Ternyata cuma mimpi," begitu kesal, baru tahu kalau lapangan kerja begitu sempit, sedang ia cuma dilatih di kampusnya dulu hanya untuk menjadi pekerja.

Ia baru sadar bahwa selama menjadi mahasiswa dipaksa untuk mempelajari banyak hal yang tidak jelas juntrungannya. Seolah-olah semua mahasiswa mau dijadikan ilmuan dan akademisi. Akibatnya, kemampuan kreativitas mahasiswa tidak terasah dan terlatih.

Bingung, frustasi, dongkol menjadi makanan sehari-hari. Akhirnya klantang-klantung tidak jelas. Mau kerja di luar bidang keahliahnya gengsi, masa sarjana jadi tukang becak, apalagi harus turun ke sawah, macul.

Pasti menjadi bahan cibiran masyarakat. Tapi kalau tidak kerja, butuh uang, butuh beli pulsa, butuh buat jalan. Karena bingungnya, akhirnya nganggur, ijasah pun gumletak di rak tak terjamah. Kalau sudah begini, salah siapa? Tak tahulah, pikir aja sendiri. 

#Selamat Hari Buruh, 1 Mei 2020 dan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2020.
×
Berita Terbaru Update