-->

Notification

×

iklan

Iklan

IMG-20240221-170348

Lingkaran Setan Politik Uang

Sabtu, 29 Agustus 2020 | 09.20 WIB Last Updated 2020-08-29T02:20:46Z
Buku berjudul Kuasa Uang.(detikNews).
Jakarta(DN) Judul: Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca Orde Baru; Penulis: Burhanuddin Muhtadi; Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Juni 2020; Tebal: xvi+391

Pemilihan umum di Indonesia ibarat dagang sapi saja; situ jual berapa, gua beli, kalau kurang ya bisa tukar tambah saja lewat jabatan. Kita sudah sering dikibuli oleh politisi yang berbusa-busa dengan kata-kata keadilan, kesejahteraan, dan omong kosong lain.

Kita juga sudah jengah dengan palagan politik yang begitu-begitu saja; kalau tidak politisi karatan, keluarga politisi, kolega oligarki, dan tentunya pengusaha yang mencoba peruntungan dalam politik.

Dan, kesemuanya masuk lingkaran setan politik uang, dari suap surat rekomendasi partai, sampai vote buying.

Celakanya, cost politik yang semakin tinggi tidak membuat politisi berhenti membakar uang untuk kursi politik. Selama pemilu yang digelar secara langsung dari tahun 2009-2019, kita ditunjukkan sebuah fenomena yang terjadi secara masif, yaitu jual-beli suara.

Beberapa anekdot tentang pemilu, terutama pileg, di antaranya yang sering terdengar adalah NPWP (nomer piro wani piro --pilih nomor berapa berani bayar berapa). Kelakar semacam itu adalah bukti dari maraknya praktik jual beli suara.

Meskipun secara hukum praktik ini terlarang, para politisi dari tingkatan nasional sampai kepala desa tidak segan-segan membelanjakan anggaran pemenangan untuk membeli suara pemilih.

Dalam literatur tentang klientelisme dan patronase politik di Indonesia telah banyak dibahas tentang strategi patronase yang digunakan oleh politisi untuk memenangkan pemilihan umum.

Di antaranya Politik Uang di Indonesia (Edward Aspinall dan Mada Sukmajati) dan Democracy For Sale (Edward Aspinall) yang menjelaskan bahwa strategi patronase mendominasi sebagai straegi pemenangan dalam politik Indonesia.

Burhanuddin Muhtadi hadir menggenapi literatur tentang politik patronase dan klientelisme di Indonesia, terkhusus politik uang. Sebagai seorang ilmuwan politik, Burhanuddin telah kondang sebagai nama besar dalam jagat konsultan politik Indonesia dengan sederet survei dan pemenangan kandidat.

Menyusul karier profesionalnya, Burhanuddin juga aktif dalam dunia akademis dengan menghasilkan beberapa karya, salah satunya buku Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu pasca Orde Baru.

Buku yang diadopsi dari disertasinya di Australia National University (ANU) ini seakan meneguhkan senyatanya politik Indonesia yang dibangun atas praktik politik uang dan praktik patronase.

Di bawah bimbingan Edward Aspinall --yang terkenal dengan tesisnya tentang politik patronase dan klientelisme di Indonesia-- ditambah dengan kekayaan data kuantitatif yang dimiliki oleh lembaga konsultan politik yang dipimpinnya, Burhanuddin tampaknya berupaya membongkar praktik jual beli suara yang menggurita di Indonesia.

Berbeda dengan beberapa pendahulunya, Burhanuddin juga menggunakan metode kuantitatif (mix methode) untuk menangkap fakta keras di lapangan tentang praktik jual-beli suara. Ia ingin lebih akurat dalam menangkap potret jual beli suara secara utuh.

Temuan Penting
Beberapa temuan penting yang cukup mengagetkan adalah bahwa prediktor terkuat dalam praktik jual-beli suara adalah sikap partisan pemilih (party ID) (hal. 17). Dalam perspektif umum, kandidat akan banyak menyasar swing voter untuk diberi uang, dengan asumsi pemilih mengambang bisa dipengaruhi oleh uang.

Tetapi, Burhanuddin menemukan bahwa pemilih partisan lebih besar kemungkinannya untuk terpapar praktik pembelian suara.

Logika sederhananya, kandidat atau politisi akan memprioritaskan dana pemenangan untuk didistribusikan kepada pemilih yang memiliki kecenderungan untuk memilih partainya daripada yang tidak memiliki kedekatan atau pilihan terhadap partai.

Selama ini, praktik jual-beli suara yang digunakan oleh kandidat seringkali mistargeting atau mengalami kebocoran. Misalnya, berapa banyak caleg yang sudah menebar amplop ke ribuan atau puluhan ribu pemilih, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan harapan.

Menurut temuan Burhanuddin, efektivitas praktik jual-beli suara hanya 10,2% saja (hal. 301). Membandingkan dengan temuan Aspinall, caleg yang sudah menebar uang 50.000 kepada 10.000 pemilih "hanya" mendapat suara 1400.

Jadi dalam konteks itu, efektivitas politik uang hanya sekitar 14% saja. Jika sudah diketahui bahwa politik uang secara konstitusi dilarang dan efektivitasnya dalam mendulang suara cenderung rendah, mengapa praktik ini terus dan akan terus terjadi?

Selain karena sikap partisan yang menjadi salah satu dasar argumen buku ini untuk menjelaskan praktik jual beli suara, Burhanuddin juga mengetengahkan argumen institusional yang menjadi pendorong maraknya praktik haram ini.

Sistem pemilihan umum di Indonesia disinyalir kuat menyuburkan praktik ini. Dalam sistem pemilihan umum proporsional terbuka, pemilih dihadapkan langsung kepada kandidat (candidate oriented), dengan begitu kandidat dalam satu partai akan mencari diferensiasi diri dengan kandidat lain di internal partai.

Apalagi yang menjadi diferensiasi diri kalau ideologi dan program sudah sama --asumsinya dalam satu partai ideologi dan program sama-- kalau bukan hal-hal yang kongkret. Dan hal kongkret itu adalah materi, uang, dan beragam strategi patronase lain seperti pork barrel, club goods, individual gifts.

Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kondisi partai politik di Indonesia yang tidak memiliki kekuatan yang mengakar di akar rumput. Indikasi sederhana saja; kita ambil data yang ditemukan oleh Burhanuddin, menunjukkan tingkat party ID pasca Pemilu 2014 hanya 15% dari jumlah pemilih.

Partai politik di Indonesia tidak memiliki akses kepada sumber daya negara, sehingga tidak bisa mengendalikan distribusi sumber daya negara kepada warga negara. (hlm. 166)

Politik uang semakin miris ketika ulama atau tokoh masyarakat cenderung permisif terhadap praktik jual-beli suara. Salah satu ulama petinggi partai yang diwawancarai oleh Burhanuddin menyebut praktik politik uang "boleh" digunakan asalkan untuk keadilan dengan dalih politisi sebelah juga memakai. (hlm. 88).

Kepada penegak hukum kita sudah seringkali dikecewakan, kepada politisi apalagi, ketika rakyat mengadu dan butuh seorang pencerah kepada tokoh masyarakat (salah satunya ulama), malah permisif dengan praktik haram ini.

Jalan Tikus
Burhanuddin juga mencoba memberikan sebuah jalan tikus bagi pemerintah, aktivis pro demokrasi, maupun masyarakat untuk lepas dari lingkaran setan ini.

Usulan untuk mengikis politik uang; pertama, mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup, sehingga menguatkan peran partai dalam politik untuk fokus pada program partai, serta menutup kemungkinan kandidat secara personal melakukan vote buying untuk keterpilihan pribadi.

Kedua, penegakan hukum terhadap pelanggaran jual-beli suara. Banyak politisi merasa tidak sedang melakukan pelanggaran demokrasi karena polisi maupun penyelenggara pemilu tidak akan menindak pelaku praktik jual beli suara, seperti yang disampaikan kalau memang ditindak, penjara akan penuh dengan pelaku jual-beli suara.

Ketiga, pendidikan politik bagi masyarakat, politisi, partai, aktivis pro-demokrasi, dan penyelenggara pemilu harus bekerja sama merumuskan strategi pendidikan politik menuju demokrasi Indonesia yang sehat.

Karena, tingkat permintaan akan politik uang dari pemilih membuat politisi semakin mendapat pembenaran melakukan praktik jual-beli suara.

Pendidikan politik yang masif dan menyasar seluruh lapisan masyarakat, dengan materi sederhana seperti kalkulasi nominal uang dibagi selama lima tahun sehingga terlihat harga yang murah untuk ditukar dengan kekuasaan yang diterima oleh politisi.(Miftahul Ulum/detikNews).
×
Berita Terbaru Update